Cinta memang membutuhkan pengorbanan tapi jangan menjadi korban

Minggu, 18 Maret 2012

PERAN ULAMA’ DALAM FATWA HARAM ROKOK BERDASAR KAIDAH FIKIH DAN KOMPETENSI INTELEKTUAL “GRAMSCI”

 
Oleh Gandhung Fajar Panjalu & M. Yusuf Rizal
(Pemikir dan Perokok)


Fatwa haram rokok yang akhir-akhir ini mencuat kembali di permukaan sejatinya bukan hanya masalah dalil.Terbukti banyak kaidah fikih yang sama digunakan oleh dua pihak, yakni pro fatwa haram dan pihak yang kurang setuju dengan fatwa tersebut. Misalnya kaidah daf'ul mafasid muqaddam `ala jalbil masolih (menjauhkan kerusakan lebih didahulukan daripada merengkuh kemaslahatan), serta kaidah laa dlororo wa laa dlirooron (Tidak ada pihak yang membawa mudlarat dan tidak ada pihak yang mendapat mudlarat). Jika dalilnya sama lantas mengapa penafsirannya berbeda? Disini saya akan mencoba membuka perbedaan tersebut melalui konsep kompetensi intelektual yang dikemukakan oleh Gramsci.
Antonio Gramsci, pada saat dipenjara oleh Mussollini pada dekade 1930 menulis sebuah catatan yang kemudian muncul dalam bukunya  berjudul Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci (1971). Dalam buku tersebut ia membagi intelektual menjadi dua, yakni tradisional dan organik.
Intelektual Tradisional adalah kategori yang bisa dikenakan kepada figur intelektual menara gading yang melakukan kongsi dan aliansi dengan kaum penguasa. Karena itu, intelektual kelompok ini cenderung konservatif terhadap perubahan sosial. Dalam bahasa kita, kelompok ini termasuk di dalamnya para guru, kyai, dosen serta pihak-pihak lain yang terkungkung oleh teori yang ada dan tidak mampu serta tidak mau melepaskan diri darinya.
Adapun intelektual organik merupakan kategori bagi figur atau kelompok intelektual yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakatnya. Karena itu, mereka cenderung revolusioner dan tidak konservatif. Dalam bahasa kita, kelompok ini adalah para aktifis organisasi sosial, mahasiswa aktif, pekerja kasar dan orang-orang lapangan.
Bagaimanapun juga dalam tubuh MUI maupun Majelis Tarjih yang telah memaparkan fatwa haram rokok terdapat dua golongan ini. Ada kalangan tradisional yang menggunakan kaidah tersebut secara pasti, jelas dan tegas. Adapula kaum organik yang membawa kaidah tersebut berputar-putar, njlimet dan sedikit ruwet sebelum akhirnya muncul keputusan.
Bagi kaum tradisional, melihat makna kaidah dan hubungannya dengan rokok tentu akan memvonis haram, hal itu ditinjau dari kandungan rokok, kesehatan, dan bahaya rokok serta menyimpulkan bahwa merokok lebih besar bahayanya daripada manfaatnya. Namun bagi kaum organik mencoba untuk menghubungkannya dengan dunia luar, para buruh pabrik rokok, devisa negara dan lain sebagainya yang akhirnya berfikiran bahwa memang rokok madlaratnya cukup besar, namun fatwa haram merokok akan membawa madlarat lebih besar lagi, akhirnya lahirlah kesimpulan bahwa merokok hukumnya makruh.
Dalam kasus fatwa rokok, dan mungkin yang lainnya, tampak bahwa ulama memiliki fungsi sebagai intelektual organik sekaligus sebagai intelektual tradisional. Mereka bukah hanya mampu mengaji namun juga mengkaji. Bukan hanya bisa ndalil namun juga mampu memikirkan keadaan ummat dan memikirkan kebaikan pada masa mendatang.
Lantas dimana kita berpijak dalam kasus rokok ini? Haramkah?? Makruhkah?? Atau hanya haram bagi golongan tertentu saja sedang yang lain makruh?? Jawabannya adalah “Kembali kepada hati nurani kita”. Mari berfikir dan menelaah dengan hati, bukan hanya dengan otak.

0 komentar:

Posting Komentar